
Bogor - Kawasan pecinan identik dengan perdagangan yang erat sejak zaman kolonial. Tak terkecuali di Jl Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Traveler bisa berwisata mengenal sejarah masyarakat asli Tionghoa.
Jl Suryakencana terletak tegak lurus dengan Kebun Raya Bogor, bersimpangan dengan Jalan Otto Iskandardinata dan Jalan Ir.H. Juanda. Jalan ini menjadi pusat keramaian kota, terutama saat akhir pekan.
Ketika mencoba berjalan menyusuri Jl Suryakencana beberapa minggu lalu, Mardi Lim, warga setempat menceritakan sedikit asal-usul tentang jalan ini kepada detikTravel. Menurutnya, fungsi jalan ini meneruskan perjalanan panjang Handlestraat yang artinya Jalan Perniagaan. Dulu sebagai jalur satu-satunya menuju kawasan puncak dan menjadi urat nadi perekonomian Kota Bogor.
Jalan ini dibuat oleh Gubernur Jendral Daendels pada tahun 1808 terkenal dengan Post Weg atau Jalan Pos. Jalan Pos dimulai dari Anyer jaraknya 1.000 kilometer dan berakhir di Panarukan.
Kemudian pada tahun 1905 Pemerintah Kota Bogor mengubah nama jalan ini menjadi Jalan Handelstraat, pada zaman kemerdekaan diubah menjadi Jalan Perniagaan. Kemudian, Jalan Suryakencana diresmikan pemerintah Bogor pada tahun 1970-an.
Pada tahun 1853, Gubernur Jendral JC Baud mengatur zona atau wilayah permukiman yang dinamakan Wijkenstelsel berdasarkan kelompok etnis tertentu. Tujuannya untuk memudahkan pemerintah kolonial mengontrol masyarakat agar tidak bercampur dengan masyarakat lain. Kebijakan ini melarang etnis Tionghoa tinggal di tengah kota.
"Masyarakat Tionghoa di kawasan ini terbagi dalam kelas sosial dan berbagai aktivitas ada di Suryakencana sejak dulu," ceritanya.
Traveler akan menemui rumah-rumah penduduk asli Tionghoa, kuliner asli Tionghoa dan menemui hilir mudik pengunjung yang berkaitan dengan transaksi jual beli di sana.
Aktivitas ekonomi kawasan Suryakencana selalu menjadi perantara produsen pribumi dan pedagang grosir Belanda dulunya. Seperti Lawang Seketeng yang merupakan pusat perdagangan ikan asin dan hasil bumi yang besar di Kota Bogor.
Handlestraat juga memiliki bangunan cagar budaya beragam. Seperti Klenteng Hok Tek Bio berfungsi sebagai tempat ibadah, perayaan hari besar keagamaan dan wisata religi. Letaknya berada di Jl Suryakencana No 1, tepatnya sebelah Pasar Bogor.
Bangunan cagar budaya lainnya terletak di belakang Pasar Bogor. Terdapat Hotel Pasar Baroe dibangun tahun 1800-an bersamaan dengan 2 hotel yang tersohor di kota ini. Bangunan-bangunan tersebut berarsitektur Indies dengan paduan Eropa dan China. Dulu bangunan ini menjadi primadona pelancong etnis China, Arab dan Pribumi pada saat itu. Namun, semua bangunan itu kini sudah berubah ke arah modernisasi.
"Tapi sekarang, kawasan ini jauh dari penanganan dan perhatian berbagai pihak. Banyak bangunan sejarah yang dihancurkan," papar Mardi.
Road of Never Sleeping, begitulah julukan jalan Suryakencana. Roda kehidupan seakan tak pernah berhenti berdenyut. Waktu silih berganti, kondisi Jalan Suryakencana semakin tidak membaik.
Kebisingan tiap kali menemani. Saat gelap tiba, seketika muncul pemandangan tidak enak di sepanjang jalan utama yang semakin menyempit.
"Banyak anak muda kalau setiap malam membuat jalur untuk balap liar di dekat Gang Aut," katanya lagi.
Suryakencana, Road of Never Sleeping, tak seklasik dulu. Semua terkikis kemajuan zaman yang tak berhenti berbenah. Masih adakah kepedulian masyarakat untuk melestarikan sejarah dan budaya, serta menjaga lingkungan agar tetap nyaman dan terpelihara?
0 komentar:
Post a Comment