Friday, March 1, 2013

Tata Mandong, 'Mbah Maridjan' dari Gunung Bawakaraeng


detikTravel Community - 

Tubuh itu semakin membungkuk, keriput, namun tetap tegar menghadapi hidup. Tata Mandong, begitu kakek ini disebut, sudah 30 tahun mengabdikan dirinya demi menjaga keseimbangan alam Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan.

Tata Mandong bukanlah sosok pahlawan yang dikenal banyak orang. Di sela mulutnya terselip lintingan tembakau. Asap terhembus, pelan, nikmat, ditelan udara. Rambutnya memutih termakan usia, namun senyumnya selalu tersungging tatkala memberikan petuah bijak.

Tak ada yang tahu kapan ia dilahirkan, tak pernah pula dia memberi jawaban saat ditanya. Umurnya, ditaksir dari kondisi fisik, sekitar 60 tahun. Kami memanggilnya Tata Mandong, pahlawan dari Tanah Bawakaraeng.

Persis di kaki Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, lembah indah terbentang. Hijau, bagai permadani yang terhampar. Lembah itu bernama Lembah Ramma. Butuh waktu minimal 4 jam untuk mencapai lembah ini dari desa terakhir, melewati perbukitan dan beberapa sungai.

Menuju Lembah Ramma hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki dengan jalur yang sempit dan banyaknya pohon tumbang. Ya, di tengah sini, di lembah indah ini, Tata Mandong tinggal sendirian di rumahnya yang sederhana. Rumah itu berukuran 3x4 meter persegi. Tak ada listrik, apalagi televisi.

Rumah panggung yang terbuat dari beberapa potongan kayu dengan lantai setinggi 1 meter tersebut hanya terdiri dari dua ruangan. Dapur yang menyatu dengan ruang tamu, dan sebuah kamar tidur. Dasar rumahya digunakan sebagai tempat berteduh untuk ketiga anjingnya. Teman setia yang menemani dirinya ketika sepi dan menjaga dirinya dari babi hutan.

Hanya sebuah radio usang satu-satunya barang 'termewah' yang ia punya. Itu pun pemberian dari salah seorang mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Seorang pria seusianya seharusnya istirahat dengan tenang di rumah sambil menikmati koran atau bercanda dengan cucu tercinta. Tata Mandong hanya bermukim sendirian di tengah hutan, tanpa fasilitas mewah satu pun. Menurut saya, hanya manusia luar biasa yang mampu melaluinya.

Sudah sekitar 30 tahun Tata Mandong mengabdikan dirinya demi menjaga keseimbangan alam Gunung Bawakaraeng. Setiap hari ia menanam bibit pohon yang sebelumnya telah disemai di halaman rumahnya. Bibit-bibit tersebut diharapkan dapat menjadi penahan banjir kelak nantinya.

Ia cerita tentang kasus longsor pada tanggal 26 Maret 2004 di sekitar Gunung Bawakaraeng yang menyebabkan 32 warga kampong Lengkese, Desa Manihoi, Kecamatan Tinggi Moncong, tewas. Puluhan rumah, ternak dan sekolah pun tertimbun endapan longsor.

Saat itu warga baru saja menyelesaikan ibadah salat Jum'at. Ada yang kembali beraktivitas bertani di sawah, atau membawa ternak ke padang rumput. Ada pula yang langsung istirahat di rumah. Tak ada yang menyangka, sebab tak ada tanda-tanda bahwa akan adanya longsor. Semua berlangsung begitu cepat. Warga tak mampu menyiapkan diri.

Tata Mandong tak mampu berbuat banyak saat itu. Ia terlambat memberitahu warga tentang bencana ini. Ia hanya manusia biasa yang memiliki tenaga rata-rata dan harus berpacu melawan endapan longsor sepanjang 30 kilometer dengan ketebalan mencapai 400-500 meter tersebut.

Sebelumnya, ia mendengar suara gemuruh di atas lereng dan menduga itu adalah salah satu lereng yang akan longsor. Dugaan beliau tepat, tak lama kemudian terjadilah bencana longsor tersebut. Tata Mandong sangat sedih dengan bencana ini.

Dedikasi Tata Mandong sungguh luar biasa dan benar-benar total. Setiap pagi ia akan menggapai puncak Tallung untuk mengamati kondisi gunung sambil mengawasi aktivitas ternak-ternak warga yang beliau gembalakan. Sebab, ia bisa mengamati semuanya dari puncak Tallung. Ia tak punya teropong untuk melihat detail-detail kondisinya. Hanya dengan mata telanjang dan pengalamanlah ia menafsirkan semuanya.

Tata Mandong adalah orang yang akan dimintai nasehat oleh warga tentang kondisi Gunung Bawakaraeng untuk melanjutkan aktivitas bertani dan beternak. Tak jarang pula ia menjadi tim penyelamat ketika ada pendaki yang hilang dan tersesat.

Yang paling membuat saya gusar, Tata Mandong hanya dibayar Rp 150.000 per bulan oleh Dinas Kehutanan untuk membayar bentuk dedikasinya tersebut. Sungguh ironis memang. Untuk kehidupan sehari-harinya beliau mengandalkan ikan empang yang dipelihara. Atau sedikit sumbangan dari rekan-rekan pendaki yang rata-rata setiap akhir pekan mengunjungi rumahnya. Dan kalau terpaksa, Tata Mandong akan berjalan kaki menuju pasar Malino.

Tata Mandong hanya pria biasa. Pria normal yang membutuhkan wanita sebagai istri yang menopang dirinya dan anak-anak yang menceriakan hari-harinya. Tahun 1986, Maniah, istri yang dicintainya, meninggalkan dirinya karena tak tahan dengan kondisi miskin yang menimpa keluarganya. Gaji sebagai penanam bibit sebesar Rp 150.000 menurutnya tak mampu menopang perekonomian keluarga.

Maniah membawa serta anak semata wayang mereka, Fatimah. Hal inilah yang masih menjadi ganjalan di hati Tata Mandong. Beliau menyimpan kerinduan yang mendalam kepada keluarga yang dia cintai. Beliau ingin melihat wajah cantik putrinya yang kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Sekali lagi, sebuah keadaan yang sangat luar biasa dan hanya mampu dilalui oleh manusia yang luar biasa pula.

Tata Mandong, meski tak setenar Mbah Maridjan, adalah pahlawan lingkungan yang patut diapresiasi. Bertemu dengannya di kaki Gunung Bawakaraeng, Anda akan mengerti arti kehidupan dan kepedulian terhadap lingkungan.

0 komentar:

Post a Comment