detikTravel Community -
Bagi pendaki, Gunung Pangrango di Jabar adalah destinasi yang tidak boleh dilewatkan. Memang, menggapai puncaknya tidaklah mudah. Tapi, ada hadiah berupa taman edelweis dan matahari terbit nan cantik menanti di sana.
Melihat Puncak Gunung Pangrango dari Camp Green Ranger di Cibodas membuatku bertanya, sanggupkah saya mendaki sampai ke puncak? Puncak itu terlihat sangat tinggi, dan megah. Ditambah dengan penampakan gunung yang sangat mengintimidasi, membuat saya yang hanya setinggi 168 cm ini terlihat begitu mungil dan tak berarti.
Maklum saja, ini adalah pendakian pertama saya. Sebagai seorang pemula, sebenarnya saya ingin agar diperkenalkan dengan pendakian yang mudah. Kami ingin melalui medan yang tidak terlalu ekstrem dan dengan pemandangan yang menakjubkan.
Kebetulan tujuan utama kami sebenarnya adalah Gunung Gede. Menurut penuturan para pendaki yang saya dengar Gunung Gede adalah gunung yang cocok untuk pemula. Maksudnya medan yang dilalui tidak berat dan pemandangan yang bagus.
Tapi apa boleh buat, untung tak dapat ditolak, kala itu Gunung Gede ditutup dengan alasan sedang mengalami perbaikan jalur. Kami, yang sudah tiba di Camp Green Ranger malam sebelumnya tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa meminta pendapat kepada Bang Idhat, panggilan yang diberikan kepada ketua Camp Green Ranger, yang menjadi kuncen gunung itu.
Green Ranger adalah sebuah organisasi lokal yang menyediakan informasi, pendaftaran dan guide kepada para pendaki Gunung Gede. Selian itu, tempat ini juga menjadi titik awal pendakian Gunung Gede dan gunung-gunung lain di sekitarnya.
Di Camp Green Ranger, Anda bisa menginap dan melengkapi perlengkapan mendaki, logistik dan gear. Ini karena memang mereka menjual berbagai jenis perlengkapan mendaki, seperti sepatu gunung, carrier, baju kaos, dan masih banyak lagi.
Atas saran Bang Idhat pula, akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Pangrango. Jalur normal, yang biasanya ditempuh melalui Gunung Putri, tidak bisa digunakan. Jadi kami harus melewati jalur yang biasa dipakai oleh SPG (Sekolah Pendakian Gunung).
Berbeda dengan jalur normal yang landai, jalur yang kami lalui ini lebih ekstrem, terjal dan curam. Ingin menghindar, tapi tidak bisa, dan sudah kepalang tanggung. Akhirnya dengan semangat tinggi, kami pun berangkat.
Dua orang pemandu ditugaskan untuk menemani kami mendaki. Satu orang bertugas di depan sebagai navigator. Sedangkan yang seorang lagi berada di belakang kelompok dan bertugas sebagai sweeper. Budi dan Ucok, begitu nama mereka.
Walaupun keduanya berdomisili di Tangerang, mereka sudah sangat hafal dengan keadaan daerah sekitar, termasuk tentang vegetasi dan demografi gunung yang akan kami daki. Sementara itu kami masih pemula, walaupun ada beberapa teman kami yang sudah pernah mendaki tempat ini sebelumnya.
Kami terdiri dari tiga kelompok, yaitu kelompok saya yang beranggotakan belasan orang, sepasang kekasih yang berasal dari daerah Jakarta, dan satu kelompok lagi yang beranggotakan 4 orang. Sebenarnya sudah bisa dibayangkan bagaimana susahnya menjadi pemandu bagi sekian banyak orang. Tapi kami masih optimis untuk bisa sampai tanpa ada kekurangan satu apa pun.
Jalur pendakian kami adalah puncak Gunung Geger Bentang. Diselingi dengan istirahat, kami turun melewati lembah yang menghubungkan Geger Bentang dan Pangrango. Kemudian mendaki lagi menuju Gunung Pangrango.
Kalau boleh aku bilang, ini adalah pendakian yang paling menantang. Bahkan salah satu teman saya, yang pernah mendaki Gunung Rinjani mengatakan jalur yang kami pilih ini lebih menantang, dibandingkan dengan gunung yang pernah dia daki sebelumnya.
Untuk mencapai Puncak Geger Bentang, kami menghabiskan sekitar 5-6 jam. Jam 7 kami berangkat dari camp dan tiba di puncak Geger Bentang bertepatan dengan jadwal makan siang. Itu pun selama perjalanan, beberapa temanku sudah mulai kelihatan letih dan kehabisan tenaga. Alhasil tas carrier mereka yang berukuran 32+5 L itu harus dibawakan oleh sweeper.
Malah salah satu teman saya yang paling gemuk harus merelakan kakinya lecet-lecet dan berdarah karena jatuh dalam aksi webbing (menyusuri jalan dengan bantuan tali) di jalur pendakian. Ya, jalurnya memang sangat ekstrem, sehingga kami harus menggunakan webbing di satu kesempatan.
Setelah masak, makan siang, sholat dan istirahat secukupnya, kami melanjutkan perjalanan. Sang guide mengatakan bahwa perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai ke puncak bayangan Pangrango sekitar 7 jam. Artinya, masih tidak terlalu gelap waktu kami tiba nanti untuk mendirikan tenda.
Setelah tujuh jam kami mendaki lagi, kami istirahat di satu titik yang sudah ditumbuhi vegetasi puncak gunung, begitu yang dikatakan guide. Dia juga berjanji bahwa tempat tujuan kami tinggal berjarak sekian ratus meter lagi, dan bisa diraih dalam waktu 30 menit. Janji itu membuat kami yang sudah kehilangan semangat dan tenaga ini menjadi tersenyum, walaupun hanya berbentuk senyuman.
Tapi apa boleh buat, kami terus mendaki tanpa menemukan tempat yang dimaksud. 30 Menit berubah menjadi 1 jam, 1 jam menjadi 2 jam, 2 jam menjadi 3 jam. Sampai pada akhirnya beberapa teman kami tidak mampu lagi berjalan. Bahkan beberapa di antara mereka terkena hipotermia. Sedangkan kami masih jauh dari kata sampai dan jarum jam sudah menunjukkan jam 9 malam lewat sedikit.
Kelompok pendaki terpisah-pisah. Beberapa dari kami ikut dengan navigator menuju puncak bayangan. Beberapa hanya berjalan dengan sisa tenaga yang ada. Beberapa lagi hanya diam bergeming sambil memulihkan tenaga, termasuk saya. Sementara di belakang, jauh sekali, sweeper kelabakan mengangkat sekian banyak carrier yang berukuran tidak kecil, sambil tetap menyemangati temanku yang tepar.
Mungkin sudah menjadi kode etis bagi para pendaki gunung untuk mengatakan, "sebentar lagi akan sampai di puncak" walaupun kenyataannya tidak begitu. Tapi saya tetap termakan oleh ucapan itu, demi mencapai titik akhir pendakian. Tetap saja, semangat dan tenaga yang saya kumpulkan terasa tidak berguna di tengah gelapnya malam, dinginnya cuaca dan kondisi kaki yang tidak memadai.
Dengan hanya berbekal headlamp dan senter, akhirnya kami tiba di puncak bayangan setelah 15 jam pendakian. Puncak bayangan ternyata sebuah lokasi datar yang berukuran hanya 1/3 lapangan futsal.
Sebagian orang langsung mendirikan tenda dan memasak makan malam, sedangkan yang lain pergi mencari sumber PGEgaHJlZj0iaHR0cDovL2FkaXByYW1hbmEuY29tLzIwMDkvMDIvYWlyLWR1a3VuLWNpbGlrLXBvbmFyaS1zdWRhaC1iZXJlZGFyLmh0bWwNIiB0YXJnZXQ9Il9ibGFuayIgcmVsPSJub2ZvbGxvdyI+YWlyPC9hPi4gTWFrbHVtLCBrYW1pIHN1ZGFoIGtlaGFiaXNhbiA8YSBocmVmPSJodHRwOi8vYWRpcHJhbWFuYS5jb20vMjAwOS8wMi9haXItZHVrdW4tY2lsaWstcG9uYXJpLXN1ZGFoLWJlcmVkYXIuaHRtbA0iIHRhcmdldD0iX2JsYW5rIiByZWw9Im5vZm9sbG93Ij5haXI8L2E+IG1pbnVtLCBzZW1lbnRhcmEgYmVzb2sgdW50dWsgdHVydW4gZ3VudW5nIGp1Z2EgZGlwYXN0aWthbiBha2FuIG1lbWJ1dHVoa2FuIDxhIGhyZWY9Imh0dHA6Ly9hZGlwcmFtYW5hLmNvbS8yMDA5LzAyL2Fpci1kdWt1bi1jaWxpay1wb25hcmktc3VkYWgtYmVyZWRhci5odG1sDSIgdGFyZ2V0PSJfYmxhbmsiIHJlbD0ibm9mb2xsb3ciPmFpcjwvYT4uIFNldGVsYWggc2VtdWEgc2VsZXNhaSwga2FtaSBwZXJnaSB0aWR1ciwgZGlpcmluZ2kgb2xlaCBzdWFyYSBoZW5pbmcgZGFuIGRlc2F1IGFuZ2luIHlhbmcgbWVuamFkaSBsYWd1IHBlbmdhbnRhciB0aWR1ciBrYW1pLjwvcD4gIDxwPlBlcmphbGFuYW4ga2FtaSBtZW51anUgcHVuY2FrIHBhZ2kgaXR1IHN1ZGFoIHNhbmdhdCB0ZXJsYW1iYXQuIFNhYXQgaXR1IG1hdGFoYXJpIHN1ZGFoIGJlcnRlbmdnZXIgZGVuZ2FuIGluZGFobnlhIGRpIGF0YXMgZ3VudW5nLiBTZW1lbnRhcmEga2FtaSBiYXJ1IG1lbXVsYWkgUGVuZGFraWFuIGthbWkga2UgcHVuY2FrLjwvcD4gIDxwPldhbGF1cHVuIGJlZ2l0dSwgc2F5YSBkYW4gYmViZXJhcGEgdGVtYW4geWFuZyBpa3V0IHBlbmRha2lhbiBoaW5nZ2EgcHVuY2FrLCBtYXNpaCB0ZXRhcCB0ZXJrZXNpbWEgZGVuZ2FuIHNlbWJ1cmF0IHdhcm5hIGVtYXMgZGFuIGppbmdnYS4gU2VtYWtpbiBjYW50aWsga2FyZW5hIHdhcm5hIGluaSBiZXJjYW1wdXIgZGVuZ2FuIGJpcnVueWEgbGFuZ2l0IHlhbmcgZGlwYW50dWxrYW4gbWF0YWhhcmkgcGFnaSBpdHUuIFBlcnBhZHVhbiB3YXJuYSB5YW5nIG1lbmFyaWssIGRhbiBzYW5nYXQgaW5kYWguPC9wPiAgPHA+U2VsYWluIGl0dSwgdGVwYXQgZGliYXdhaCBrYW1pLCB0ZXJkYXBhdCBsYXV0YW4gYXdhbiB5YW5nIG1lbWJlbnR1aCBndW1wYWxhbi1ndW1wYWxhbiBidXNhIHlhbmcgc2FuZ2F0IGluZGFoLiBCYXJ1IGthbGkgaW5pIGFrdSBtZWxpaGF0IHBlbWFuZGFuZ2FuIHNlaW5kYWggaXR1LjwvcD4gIDxwPlRhbWFuIEVkZWx3ZWlzcywgeWFuZyBkaSB0ZW1wYXQgaW5pIGRpc2VidXQgTWFuZGFsYXdhbmdpLiBUZW1wYXQgaW5pIG1lcnVwYWthbiBwYWRhbmcgcnVtcHV0IHNldWt1cmFuIGxhcGFuZ2FuIGJvbGEgeWFuZyBiZXJpc2kgdGFuYW1hbiBFZGVsd2Vpc3MgZGFuIHRhbmFtYW4gYmVyd2FybmEgamluZ2dhIGxhaW5ueWEuIFdhbGF1cHVuIHNpbmFyIG1hdGFoYXJpIHNhYXQgaXR1IHN1ZGFoIG1lbnllbmdhdCwga2FtaSB0ZXRhcCBtZXJhc2Ega2VkaW5naW5hbi4gRGkgdGVtcGF0IGl0dSBqdWdhIGthbWkgbWVuZW11a2FuIHNlYnVhaCBtYXRhIDxhIGhyZWY9Imh0dHA6Ly9hZGlwcmFtYW5hLmNvbS8yMDA5LzAyL2Fpci1kdWt1bi1jaWxpay1wb25hcmktc3VkYWgtYmVyZWRhci5odG1sDSIgdGFyZ2V0PSJfYmxhbmsiIHJlbD0ibm9mb2xsb3ciPmFpcjwvYT4geWFuZyA8YSBocmVmPSJodHRwOi8vYWRpcHJhbWFuYS5jb20vMjAwOS8wMi9haXItZHVrdW4tY2lsaWstcG9uYXJpLXN1ZGFoLWJlcmVkYXIuaHRtbA0iIHRhcmdldD0iX2JsYW5rIiByZWw9Im5vZm9sbG93Ij5haXI8L2E+nya sangat segar. Segera kami isi beberapa botol untuk dijadikan bekal nanti.
Di ketinggian 3019 mdpl, kami puas menyaksikan kebesaran Tuhan, sebuah pemandangan yang bisa membuat siapa saja takjub. Gunung, awan, matahari, pohon-pohon mati, bunga edelweiss, biru langit dan berbagai hal lainnya secara gantian memanjakan mata ini. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.
Akhirnya tibalah waktu kepulangan. Perjalan pulang kami ternyata tidak semulus yang diharapkan. Dari jam 11.00 WIB kami berangkat dari tempat berkemah. Kami tiba di area persawahan penduduk sekitar jam 00.00 WIB. Itu pun sempat diselingi oleh hujan yang tidak terlalu deras dan medan yang masih tetap terjal dan curam. Perjalanan yang mustahil bagi mereka yang bermental lemah dan berkemauan rendah.
Pendakian kali ini memang luar biasa. Setelah pendakian, bukannya saya jera, malah ketagihan. Ingin rasanya mendaki dan mendaki lagi untuk melihat ciptaan Tuhan yang lain, yang lebih indah dan megah. Makanya, pertengahan November nanti, saya akan mendaki Gunung Semeru lagi. Tidak sabar ingin melangkahkan kaki di hutan yang penuh dengan tantangan lagi.
0 komentar:
Post a Comment