detikTravel Community -
Jenuh dengan pekerjaan? Datanglah ke Gunung Papandayan, Jabar. Memiliki alam yang bersih, udara yang segar dan suasana yang menenangkan hati, Gunung Papandayan bagai surga yang 'jatuh' ke bumi.
Gunung Papandayan yang berada di Garut, membuat kami mudah mencapainya dari Jakarta. Berangkat hari Jumat pukul 23.00 WIB, kami akan mencapai titik awal pendakian sekitar pukul 04.30 WIB. Perjalanan naik, bisa dimulai sekitar pukul 07.00 WIB, ketika matahari sudah mulai bersinar. Hal ini penting karena pada musim kemarau, cuaca sangat dingin.
Dari sejak awal pendakian, mata sudah dimanjakan dengan panorama sekitar yang sungguh menawan. Bulan Juni merupakan bulan yang cocok untuk kegiatan treking, karena sedang musim kemarau. Sehingga, cuaca begitu cerah dengan langit yang begitu biru, tanpa ada noda di awan putih sedikit pun. Karena bau belerang masih agak menyengat, disarankan agar mengenakan masker untuk menghindari pusing atau mual.
Perjalanan dari pos awal hingga tempat kami bermalam, yaitu Pondok Salada hanya memakan waktu tidak lebih dari 4 jam. Hal ini dapat dilakukan dengan kondisi santai atau slow trekking, sambil menikmati indahnya pemandangan di sepanjang jalur pendakian.
Pemandangan cantik lagi-lagi ada di depan mata. Ada perpaduan warna krem kekuningan dengan birunya langit. Kata orang, warna krem kekuningan ini diakibatkan terbelahnya kawah karena letusan Gunung Papandayan beberapa tahun lalu. Sunggguh merupakan suatu lukisan alam yang sempurna!
Pun ketika kaki sudah mulai memasuki hutan mati. Mata dan mulut hanya bisa terbuka lebar-lebar karena takjub. Kering kerontang pohon-pohon yang ada, merupakan saksi bisu betapa dahsyatnya letusan Papandayan beberapa tahun lalu.
Di beberapa tempat, ada pohon-pohon dan semak hijau di punggung bukit. Mereka seolah menunjukkan ketegarannya dalam melanjutkan hidup setelah letusan. Punggung bukit di kejauhan yang masih belum ditumbuhi pepohonan juga tak mau kalah. Dia laksana bukit bersalju karena putihnya.
Meninggalkan hutan mati, hidung kita mulai mencium harum semerbak bunga edelweis yang sedang bermekaran. Edelweis memang bunga abadi yang dengan segala keanggunannya tetap memesona. Wanginya sederhana tapi elegan. Cukup mengobati indera penciuman kita yang diawal pendakian mencium tajamnya bau belerang. Sungguh, suatu keberuntungan bisa menikmati edelweis yang sedang bermekaran.
Setiba di Pondok Salada dan setelah mendirikan tenda, makan siang siap dihidangkan. Biarpun makan seadanya, tapi itulah makan siang termewah di dunia.
Betapa tidak, kami makam beratapkan langit biru dan dibelai sejuknya angin sepoi-sepoi. Ditambah dengan bukit-bukit hijau yang mengelilingi, dan tak ketinggalan harumnya bunga edelweis yang sesekali tercium karena dibawa angin, tak berlebihan bila makan kali ini disebut makan siang termewah di dunia. Sempurna!
Setelah kenyang dan beristirahat sejenak, kami pun bersiap menuju ke alun-alun. Perjalanan naik ke alun-alun ditempuh sekitar 2 jam. Karena jalur pendakian semakin naik, tak ayal nafas kami pun mulai ngos-ngosan.
Tetapi sekali lagi, keindahan pemandangan yang kami temui sepanjang jalan mampu mengalahkan rasa lelah dan putus asa. Apalagi ketika tak lama kemudian, sebuah padang luas terbentang di hadapan kami.
Di suatu sore yang indah, sekumpulan edelweis di padang luas ini seolah berlomba memamerkan harum bunganya yang sedang bermekaran. Seolah tak mau melewatkan momen indah ini, kami semua berlari-lari dan berteriak-teriak seperti anak kecil di antara rimbunnya edelweis. Dari mulai mencium, tiduran dibawahnya, dan bahkan ada yang bersujud syukur di dekat edelweis sambil mengagungkan asma Illahi berulang-ulang.
Terimakasih Tuhan, karena kami diberi kesempatan untuk menikmati semua keindahan ini. Kami tahu ini masih belum seberapa dibandingkan dengan segala keindahan yang Engkau karuniakan kepada kami. Semoga kelak kami diberi kesempatan untuk menikmati anugerah-anugerah yang lain yang ada di muka bumi ini. Amin.
0 komentar:
Post a Comment