Monday, April 8, 2013

Voila! Pesona Kota Merah Bata di Pinggiran Prancis


Toulouse - Kota kecil di barat daya Paris ini terkenal dengan sebutan kota pink. Tapi mungkin tidak benar-benar pink, lebih tepat disebut berwarna merah bata. Warna itu terpancar dari bangunan-bangunan yang nyaris semuanya 'dibungkus' batu bata.

Nama kota ini adalah Toulouse. Jaraknya satu jam perjalanan melalui udara dari Paris. Jarak Paris-Toulouse seperti Jakarta-Solo atau Jakarta-Lampung.

Dua pekan lalu, detikTravel dan sejumlah jurnalis asal Indonesia berkesempatan menginjakkan kaki di kota tua ini. Saat pesawat mendarat sempurna dan hendak parkir di Bandara Internasional Blagnac, sekitar pukul 16.30 waktu setempat, semua kegirangan.

Cuaca sangat cerah. Matahari berdiri kokoh. Pasti udaranya hangat, kata kami membatin. Beberapa dari kami melepas penutup kepala, syal, dan jaket.

Pesawat berhenti dan penumpang pun turun. Dugaan kami meleset. Ternyata udara sangat dingin! Tiupan angin seolah menusuk kulit, mendesakkan suhu minus ke tulang. Sinar matahari nyaris tak berguna. Jangan panas, hangat pun tidak. Buru-buru kami mengenakan kembali semua aksesori musim winter: penutup kepala, syal, jaket, dan sarung tangan.

Udara dingin lenyap tatkala kami memasuki ruangan bandara. Tak lama, angin berhembus lebih kencang. Terlihat dari dalam ruangan, gerimis turun. Kaca-kaca terciprat air. Kami meninggalkan bandara usai acara briefing soal posisi dan prospek pesawat Airbus di dunia penerbangan.

Esoknya, di tengah kepadatan acara, sebagian dari kami seperti mewajibkan berkeliling kota. Berangkat sendiri-sendiri. Meski tidak janjian, karena terbatasnya jangkauan, kami akhirnya bertemu di tempat-tempat tertentu.

Pagi hari, Toulouse tengah hidup-hidupnya. Udara cerah tapi suhu udara tetap dingin. Warga lalu lalang berangkat bekerja. Tidak seriuh Jakarta. Sebagian jalanan padat, tapi tidak sampai macet. Sebagian lengang. Suara klakson nyaris tak pernah terdengar.

Jalanan di Toulouse tak semewah Paris. Hanya sedikit jalan yang lebarnya mencapai 8-10 meter. Meski demikian, pedestrian dibuat nyaman. Lebarnya setara dengan jalan terdekat. Karena itu, pedestrian juga dimanfaatkan sebagai tempat parkir sepeda onthel. Itu pun jumlahnya tidak seberapa.

Beberapa sungai kecil membelah kota. Airnya memang tidak jernih, tapi kondisi sungai terlihat bersih karena tak dijejali sampah. Di samping sungai, pohon-pohon berkulit putih bak akar, hanya dahan yang kian ke atas kian kecil. Tak ada daun. Ada beberapa jembatan dan perahu kecil berikut halte-nya.

Jalanan di dekat sungai, cukup sempit. Hanya bisa dilewati dua mobil. Hampir semua dibuat searah, sehingga arus lalu lintas tidak macet meski kendaraan melintas bersamaan. Pengguna jalan tertib, terutama saat menghadapi lampu merah.

Meski disebut kota metropolis, tak ada gedung pencakar langit di kota ini. Sepanjang jalan yang terlihat hanya gedung yang tingginya tak lebih dari 10 lantai. Desain gedung agak mirip. Kotak-kotak, tidak terlihat futuristik, dengan menonjolkan warna merah bata. Ada beberapa yang berwarna krem, tapi warna itu seolah tertelan banyaknya gedung yang berwarna senada: merah bata!

Di kanan-kiri jalan, yang tampak hanya flat berjendela dan ruko. Sekali lagi, warnanya merah bata. Pohon-pohon meranggas menyisakan dahan. Dedauan hijau pucat hanya tampak di taman-taman kecil yang berhias pancuran dan patung bergaya Romawi.

"Kalau dilihat dari udara, kota kami berwarna pink," kata salah satu manager relation Airbus yang juga merupakan warga setempat, Marie Caujolle, saat makan malam di restoran.

"Katanya, dulu bahan material selain batu bata mahal. Jadi hampir semua membangun rumah dan gedung dari batu bata," imbuh perempuan muda yang mengaku pernah ke Bali ini.

Semahal apa bahan material di Toulouse sehingga hampir semua warga membangun rumah dan gedung dengan desain dan warna senada? Marie jelas tidak tahu. Mahalnya bahan material yang menjadikan Toulouse berwarna merah bata hanyalah sepenggal kisah yang disampaikan orangtuanya. Mungkin orangtuanya juga dapat cerita dari orangtuanya, dari generasi ke generasi.

Menurut sejarahnya, Touluse merupakan bekas ibukota Provinsi Languedoc. Pada era Revolusi Prancis, periode 1789-1799, provinsi ini dihapus. Kini kota terbesar keempat di Prancis setelah Paris, Marseille, dan Lyon ini adalah ibukota daerah atau region Midi-Pyrenees.

Jantung kota merupakan gedung tua yang disebut Capitolium. Ini adalah pusat pemerintahan. Gedung aslinya dibangun pada tahun 1190 dan mengalami rekonstruksi beberapa kali. Selain gedung, hasil rekonstruksi berupa pedestrian. Taman dengan bangku-bangku, air mancur, dan ruang kosong diciptakan di sela lahan seluas 2 hektare
ini.

Di lahan terbuka di tengah gedung-gedung bergaya neo-klasik yang membentuk segi empat, ada beberapa kios yang menjual suvenir, aksesori musim dingin, dan makanan. Tak banyak wisatawan atau warga yang berbelanja. Mungkin karena saat itu hari Selasa. Orang lebih banyak lalu lalang atau bekerja dibanding mampir melihat atau membeli
pernik-pernik itu.

Terlalu banyak tempat menarik di kota ini, karena hampir setiap sudut menawarkan panorama yang khas. Tapi waktu juga yang membatasi. Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, beberapa anggota rombongan ke bandara untuk kembali ke Paris.

Sebetulnya cuaca cukup cerah, tapi sayang, serpihan awan yang berarak menutup menutup panorama. Kami tidak bisa memastikan ucapan Marie Caujjole, benarkah kota ini berwarna pink jika dilihat dari udara. Hmm, berwarna pink atau merah bata, toh kota ini tetap memesona.

0 komentar:

Post a Comment