Saturday, December 8, 2012

Di Kampung Obia, Ubi Dimasak Menggunakan Batu Panas


detikTravel Community - 

Di Kampung Obia, Kota Wamena, Papua, ada prosesi bakar batu yang terkenal. Daging, ubi dan sayuran dimasak dalam batu-batu panas yang telah dibakar sebelumnya. Membayangkannya saja sudah seru dan nikmat, bukan?

Prosesi bakar batu sudah sering terdengar di TV dan internet. Namun kali ini lebih istimewa karena saya melihat langsung warga di Kampung Obia melakukan prosesi ini. Jelas ini pengalaman baru dan super seru.

Menurut Bapak Sugeng dari Rakata Adventure, bakar batu adalah sebuah proses memasak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Wamena. Biasanya, bakar batu dilakukan untuk memperingati momen khusus seperti pernikahan, kematian, atau menyambut tamu yang datang.

Bahan makanan yang dibakar hari itu adalah ubi dan buah merah. Biasanya, ada tambahan berupa daging babi, namun rupanya daging babi tidak tersedia hari ini.

Bagi anda yang belum tahu buah merah, itu adalah buah khas Papua yang berbentuk seperti buah nangka. Hanya, daging buahnya tidak dimakan dan kulitnya dimasak lalu diperas untuk dijadikan kuah sayur. Pukul 09.00, prosesi bakar batu pun dimulai.

Seorang bapak dari Suku Daby menggesekkan dua buah kayu sampai menimbulkan asap. Ketika asap mengepul semakin besar, ia meletakkan sejumput jerami hingga terbakar. Waw! ternyata tanpa korek pun mereka bisa membuat api.

Setelah api siap, para wanita menyiapkan kayu bakar untuk membakar batu selama satu jam. Batu yang digunakan adalah batu-batu dari sungai yang sudah dikumpulkan sebelumnya.  

Sambil menunggu batu-batu itu panas selama kurang lebih satu jam, para laki-laki menggali lubang berdiameter satu meter, kemudian melapisinya dengan jerami dan rumput-rumput segar.

Momen menunggu batu-batu itu panas dimanfaatkan oleh para mama untuk membuat noken, tas rajut khas Wamena. Namun ketika batu dirasa sudah cukup panas, mama pun menghentikan pekerjaannya dan langsung mengangkat batu menggunakan alat dari kayu yang disebut Hikir.

Batu-batu dimasukkan ke dalam lubang berisi rumput dan disusun memenuhi lubang. Setelah itu barulah ubi dimasukkan dan disusun agar bisa matang dengan merata. Bagian atas ubi kemudian ditutup lagi dengan menggunakan rumput, dan batu-batu panas kembali diletakkan di atasnya.

Kali ini saya mencoba membantu para mama untuk mengangkat batu-batu panas itu. Ternyata tidak sulit, loh. Cukup menjapit batu dengan hikir kemudian membawanya dengan cepat ke atas rumput.

Setelah semuanya siap, saya harus menunggu satu jam hingga ubi-ubinya matang. Wah, benar-benar tidak sabar untuk mencicipi. Pasti rasanya jauh lebih nikmat karena dikerjakan bersama-sama dengan hati senang. 

Saat yang ditunggu pun tiba. Batu dibongkar dan segala isinya dikeluarkan. Asap yang mengepul dari ubi membuatnya terlihat semakin nikmat. Nyam nyam nyam, bakar batu pun kami akhiri dengan makan ubi bersama di pelataran honai.

Itulah salah satu bentuk kearifan lokal yang saya temui di Kampung Obia, di mana gotong royong dan kerjasama menjadi nafas bagi masyarakat kampung ini. Semoga kita sama-sama bisa meneladani ya.

0 komentar:

Post a Comment