detikTravel Community -
Distrik Sota di Merauke merupakan salah satu garis perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Uniknya, perbatasan ini disulap menjadi sebuah taman untuk tempat wisata. Mau tahu?
Dream Destination Papua tiba di tujuan berikutnya, kota paling timur di Indonesia, Merauke. Tidak berhenti sampai di sana, perjalanan berlanjut hingga ke ujung Indonesia, daerah perbatasan bernama Sota.
Sedari dulu saya sering bermimpi mengunjungi ujung Indonesia, menjejakkan langkah di titik terjauh negeri ini. Sabang dan Merauke telah memikat saya sejak pertama kali saya mengenalnya melalui lagu semasa kecil. Beruntung kali ini saya berkesempatan mengunjungi salah satunya, yaitu Merauke.
Dahulu, Merauke dalam gambaran saya adalah sebuah kota tertinggal. Letaknya yang jauh dari pusat pembangunan membuatnya saya berpikir modernisasi mungkin tidak menyentuh kota ini. Tapi setibanya di Bandara Mopah, pemikiran saya kemudian dipatahkan. Merauke sedang menggeliat dalam pembangunan.
Rabu, (28/11/2012) saya bersama tim Dream Destination Papua berkesempatan untuk mengunjungi salah satu titik terjauh dari Kabupaten Merauke, ke sebuah distrik bernama Sota. Batas akhir Republik Indonesia dan titik awal dari negara Papua Nugini.
Perjalanan menuju Sota kami lewatkan dengan beristirahat, mencoba mengembalikan seluruh tenaga setelah lebih seminggu menjelajah Papua tanpa jeda. Sota yang terletak di ujung Merauke membuat lokasinya cukup terpencil. Jalur panjang perjalanan kesana didominasi oleh Taman Nasional Wasur.
Sepanjang jalan saya menikmati rentang alam yang coklat kemerahan. Pohon-pohon meranggas kering sejauh mata memandang. Rumah semut atau musamus menghias kiri dan kanan jalan. Savana yang luas bersanding dengan teratai-teratai merah merekah di kolam-kolam dangkal mengingatkan saya pada gambaran taman nasional di Australia.
Lebih satu jam perjalanan sebelum akhirnya kami tiba di Distrik Sota dan melihat langsung Tugu Kembaran Sabang-Merauke. Sebuah tugu yang identik satu sama lain tapi terpisah lebih dari 5.200 kilometer. 10 Kilometer dari sana, kami akhirnya tiba di salah satu titik akhir negeri ini: Taman Merah Putih.
Sejatinya daerah ini hanya berupa sebuah tugu yang menandai koordinat dan batas Republik Indonesia. Hingga kemudian seorang polisi bernama Ipda Ma'ruf terpanggil untuk merawat daerah ini sejak tahun 2005 dan berhasil membangun taman yang kemudian terkenal seantero Indonesia.
Mata saya menjelajah setiap sudut dari taman yang didominasi warna merah dan putih, di mana-mana tampak tertulis kata-kata motivasi bernada nasionalis. Ma'ruf sangat bangga akan taman yang dibangunnya dengan hasil swadaya sendiri, bukti kecintaannya terhadap negeri ini.
Ma'ruf kemudian bercerita tentang perjuangannya membangun taman ini, mulai dari cemoohan orang hingga minimnya dana hingga dia harus berdikari meluangkan waktu tiap harinya selama bertahun-tahun untuk merawat daerah ini. Bagi Ma'ruf daerah perbatasan bukanlah sekat yang memisahkan dua kebangsaan, tetapi menjadi tempat yang menyatukan dan hulu dari perdamaian.
Masyarakat Papua Nugini telah menganggapnya keluarga. Tak jarang, mereka yang melintas batas demi memenuhi kebutuhan sehari-hari merasa terbantu akan kebaikan hati Ma'ruf. Ma'ruf tanpa segan akan berbelanja bagi mereka dikala mereka tak memiliki izin memasuki daerah kedaulatan Republik Indonesia.
Dari tugu perbatasan mm 13, kami diajak oleh Ipda Ma'ruf untuk 'keluar' dari Republik Indonesia dan memasuki daerah tak bertuan sepanjang 150 meter. Daerah ini adalah zona netral yang menjadi batas nyata antara Indonesia dan Papua Nugini.
Kami pun berpaling dari tugu dan akhirnya melangkahkan kaki di zona netral antara dua negara ini. Panas terik yang membakar tak menyurutkan niat kami untuk menjelajah daerah tak bertuan. Rimbun pepohonan ketapang dan kayu putih serta rumah semut yang gigantis menghias daerah ini.
Ipda Ma'ruf membawa kami ke sebuah tugu kecil yang tampak usang. "Ini batas akhir Indonesia yang sebenarnya, di balik tugu ini sudah masuk daerah Papua Nugini," katanya.
Tanpa pikir panjang, kami semua melangkah ke balik tugu. Menginjakkan kaki di tanah Papua Nugini untuk pertama kalinya. Ke luar negeri tanpa paspor dan visa untuk pertama kalinya. Seru!
Melewatkan hari di Taman Merah Putih membuat jiwa nasionalisme saya bangkit. Terbersit rasa kagum kepada Ipda Ma'ruf yang telah mendedikasikan hidupnya di perbatasan. Mengetahui bahwa dia telah berjuang hidup dengan penuh keterbatasan demi memajukan daerah perbatasan, membuat saya merasa bangga menjadi warga Indonesia dan memiliki pengayom masyarakat seperti dirinya.
Satu kalimat Ipda Ma'ruf yang terus saya ingat sepanjang perjalanan pulang kami kembali ke Kota Merauke, "Kami mungkin hidup di daerah tertinggal, tapi jangan ditinggalkan..." Ya, semoga saja tidak!
0 komentar:
Post a Comment