Thursday, March 14, 2013

Wisata Memberi Makan Hiu Paus di Filipina Menuai Protes


Cebu - Siapa yang tidak tertarik melihat ikan terbesar di dunia dari dekat. Di Filipina, ada wisata memberi makan hiu paus. Namun, wisata seperti itu bisa merusak kehidupan alami mereka.

Tan-awan di selatan Filipina merupakan desa sepi yang sangat jarang didatangi wisatawan. Tapi akhir-akhir ini, desa tersebut dipenuhi para turis yang berjejal ingin melihat ikan terbesar di dunia, ditengok dari Reuters, Selasa (12/3/2013). Warga lokal memberi makan ikan dengan udang kecil agar mereka bisa lebih jinak dan dekat dengan area atraksi.

Area untuk melihat hiu paus ini hampir selebar lapangan bola yaitu sekitar 80 meter di lepas pantai. Agar atraksi lebih menarik, mereka tidak hanya bisa melihat hiu paus saja, namun juga bisa memberi makan atau malah bisa berenang bersama mereka.

Waktu atraksinya berlangsung dari pukul 06.00 pagi waktu setempat hingga 13.00 waktu setempat. Saat itu, akan terlihat 8-10 hiu paus di sekitar sana. Beberapa waktu saat pagi, kawanan ikan raksasa itu bisa mencapai 20 ekor. Bagi wisatawan asing yang hanya ingin menonton hiu paus lebih dekat, dikenai biaya sebesar 500 Peso atau Rp 119 ribu.

Sedangkan bagi para turis yang ingin memberi makan langsung sekaligus snorkeling bersama mereka dikenai biaya sekitar 1.500 Peso atau Rp 358 ribu. Nah, uangnya akan dibagikan kepada penduduk yang bekerja hari itu. Beberapa pekerjaan yang dilakukan warga lokal adalah sebagai pemandu atau pengemudi perahu.

"Hiu paus itu benar-benar besar, jadi melihat ini sungguh pengalaman yang luar biasa. Tentu saya akan memberi tahu hal ini kepada teman-teman saya," kata seorang turis lokal asal Filipina bernama Cecilia Buguis.

Atraksi wisata ini baru berjalan selama 2 tahun terakhir. Pada tahun 2012, jumlah wisatawan yang mendatangi Tan-awan mencapai 1.624 orang. Makin menyebar dan terkenalnya atraksi wisata ini membuat para pecinta hewan dan juga ahli biologi kuatir.

Masalahnya, menurut kepala organisasi pecinta lingkungan bernama Physalus, Alessandro Ponzo, atraksi ini seperti sirkus. Karena wisatawan berkumpul di suatu tempat untuk melihat hewan yang seharusnya berada di alam bebas. Ini bukanlah tingkah alami dari hewan tersebut.

"Pengalaman yang dirasa (saat berada di Desa Tan-awan) akan berbeda seperti melihat hewan itu saat berada di alam bebas. Atraksi seperti ini sama saja mengeksploitasi hewan bebas sebagai atraksi wisata," lanjut Alessandro.

Protes ini tidak disambut terlalu baik dari pihak warga lokal yang merasa diuntungkan oleh kehadiran ikan raksasa tersebut. Wakil ketua Tan-awan Oslob Sea Warden and Fishermen Association (TOSWFA), Ramonito Lagahid pun mengungkapkan alasannya.

"Beberapa orang menyuruh kami untuk memberi makan hiu paus. Tapi bagaimana kehidupan kami jika harus berhenti dari bisnis ini? Mau tidak mau mata pencaharian kami kembali jadi memancing," tutur Ramonito.

"Lebih mudah bekerja dengan hiu paus karena bisa mendatangkan banyak uang. Pagi hari kami mengajak para tamu melihat hiu paus, siangnya kami bisa main bola basket," kata salah seorang pekerja di atraksi melihat ikan hiu paus, Aikie Lagahid.

Sedangkan para ahli biologi kuatir dengan lingkungan tidak alami seperti di Desa Tan-awan bisa menimbulkan sifat abnormal dari hiu paus. Dengan diberi makan, ini akan menimbulkan sisi persaingan di antara para hewan tersebut. Juga, kontak yang terlalu dekat dengan manusia bisa menimbulkan penyakit dan parasit yang bisa terkena ke hewan tak bersalah ini.

Orang dari Physalus mengevaluasi wisata memberi makan hiu paus dan efeknya kepada kelakuan para ikan. Mereka berharap, penelitian ini bisa membantu pemerintah mengatur wisata hiu paus sekaligus meminimalisasi kerusakan lingkungan serta eksploitasi hewan liar.

"Hal yang mengganggu hiu paus ini memang harus dihentikan, namun Anda (para penggiat pecinta lingkungan) juga harus memikirkan efeknya kepada komunitas yang terkait," kata ahli biologi bernama Samantha Craven.

0 komentar:

Post a Comment