Monday, March 25, 2013

Api Biru & Bertaruh Nyawa di Kawah Ijen


detikTravel Community - 

Niat hati melihat fenomena blue fire di Gunung Ijen, Jatim boleh saja batal. Tapi, penanjakan ke Gunung Ijen tetap dilakukan. Di sana traveler akan bertemu dengan para penambang belerang, yang bekerja dengan bertaruh nyawa.

Ini adalah sedikit kisah saya saat berlibur ke Gunung Ijen. Gunung yang kawahnya tidak saja indah, tapi juga banyak penambang yang hidup dari belerang di kawah gunung tersebut. Bukan jadi hal yang ditutupi lagi, kalau mereka memang sangat bergantung dengan belerang yang ada di kawah ini. 

Gunung Ijen di Banyuwangi masih termasuk gunung berapi aktif di Indonesia. Saya berangkat dari Banyuwangi menggunakan motor. Perjalanan dari Banyuwangi pukul 15.00 WIB dan sampai di pos perizinan Ijen pukul 18.00 WIB. Seharusnya pukul 17.00 WIB, tapi saat diperjalanan saya harus banyak berteduh karena cuaca saat itu sedang hujan dan berkabut.

Sesampainya di sana saya dan teman perjalanan sudah merasa kedinginan. Di depan pos ada banner yang menjelaskan kalau pendakian ditutup! Rasanya sangat kecewa. Maka kami memutuskan untuk ke warung sembari bertanya dan melihat keadaan sekitar untuk tempat tidur kami malam ini.

Ini untuk pertama kalinya saya mau hiking dan tidak membawa dome, SB dan trangea. Kami memutuskan menginap di rumah Bu Iim, salah satu penjual yang memiliki warung di pos Ijen. Malam itu kami sempat bercakap-cakap sedikit. Saya tidak mengerti benar apa yang mereka obrolkan dengan bahasa daerah sekitar. Teman saya mengobrol dengan Ibu dan bapak-bapak yang ada di warung tersebut. 

Tidak berapa lama, ada beberapa laki-laki dan perempuan. Pastinya mereka juga ingin mendaki ke kawah Ijen. "Alhamdulillah," batinku. Ada teman untuk mendaki malam ini untuk melihat 'blue fire' atau api biru. Saya, teman perjalanan dan rombongan tadi sepakat tidur di lantai beralaskan kardus dan ponco di warung Bu Iim. Ini akan menjadi tempat isitrahat kami sampai nanti pukul 01.00 dini hari. Selanjutnya, kami akan mendaki demi melihat 'blue fire'.

Blue fire ini hanya ada di Gunung Ijen. Ini yang membuat saya pribadi sangat penasaran dengan gunung yang memiliki ketinggian 2.368 mdpl ini. Untuk melihat api biru ini berarti harus bangun dini hari sebelum subuh.

Pukul 24.00 WIB saya belum juga bisa tertidur. Masih asyik mengobrol dengan teman traveling saya. Ragu rasanya bisa bangun pukul 01.00 atau 02.00 WIB. Kondisi malam itu pun hujan deras disertai angin. Semoga cuaca bersahabat untuk kami para pendaki yang malam itu.

"Teng,teng,teng" jam menunjukan pukul 05.00 WIB. Saya dan teman-teman pun terbangun. Naas, kami melewatkan 'blue fire'. Sedih! Ini tidak sesuai target muncak kali ini. Akhirnya, rencana lain adalah kami menginap lagi semalam dan malamnya kami muncak atau kami mendaki pagi ini tanpa melihat blue fire.

Setelah dipertimbangkan, dengan waktu yang tersedia dan rencana awal saya dan teman-teman memutuskan untuk mendaki. "Bismillah." Terkahir mendaki itu pertengahan tahun lalu ke Semeru dan hari ini kami menuju Ijen.

"Sampaikan kami di puncak dan kembalikan kami dengan selamat Ya Rabb," itu salah satu doa saya setiap kali mendaki. 

Saat mendaki bawa perbakalan air yang cukup, kalau bisa juga membawa makanan ringan. Pos 1, 2 ,3 terlewati. Pemandangan pagi yang membuat saya berdecak kagum adalah para penambang-penambang belerang yang umurnya sudah tidak lagi muda. Namun, mereka masih sangat bersemangat dengan memikul beban seberat 60-70 kg.

Pekerjaan itu dilakukan sehari bisa sampai 2 kali naik turun Ijen. Demi mengepulnya asap dapur, demi kehidupan anak mereka, ini semua nyata. Saya cukup miris melihat mereka hanya berbekal air dan kain untuk masker mereka saat mengambil belerang. 

Dari bawah pos 1 sampai ke atas kawah membutuhkan waktu 3 jam. Medannya menanjak, masih asri dengan pohon-pohon. Ini yang saya suka. Biasanya, kawasan gunung dibabat habis untuk ladang persawahan dan tanaman-tanaman sayuran. Tapi di Ijen, sepanjang jalannya traveler masih bisa merasakan pohon-pohon yang rindang.

Walaupun jalannya menanjak, di pos terakhir ada bangunan tua yang sudah tidak terpakai. Ada gubuk yang bertuliskan kantin juga di situ. Di situlah tempat akhir para wisatawan boleh mendirikan kemah. Perjalanan masih diteruskan dan para penambang pun masih terus berseliweran membawa belerang yang mereka dapatkan.

Akhirnya saya pun sampai. Sesaat saya mencium bau belerang yang sangat menyengat ketika angin bertiup ke arah kami. Ini sangat penting bagi para wisatawan ketahui. Saran saya bawa masker dari bawah, tapi bisa juga menyewa masker seperti saya.

"Tak bisa melihat blue fire, tapi saya harus turun ke kawah Gunung Ijen," dalam batin saya. Kebetulan ada bapak-bapak yang menawarkan masker, sekaligus mengantarkan kami ke bawah Kawah Ijen. Kenapa harus memakai guide? Karena kami baru pertama ke sini. Kami tidak ingin mengambil risiko salah jalur atau hal lain yang dpat merugikan keselamatan kami.

Untuk menuruni kawah dibutuhkan waktu 1,5 jam, dengan istirahat beberapa kali, dan medan yang cukup terjal. Sekali lagi, berhati-hatilah dan pakai masker! Mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun para penambang bekerja di sini, bau belerang pasti sudah sangat familiar layaknya oksigen.

Tidak ada satupun penambang yang memakai masker. Semoga Tuhan memberikan kesehatan untuk para penambang-penambang tangguh ini. Dari sini saya banyak belajar tentang semangat mereka para pekerja kasar yang bertaruh nyawa di kawah Gunung Ijen.

Oh ya, banyak turis asing juga di sini. Para penambang juga menjual belerang yang dicetak dengan bentuk-bentuk unik. Ada bentuk kura-kura, kepiting, dan lain-lain untuk buah tangan.

Kalau seperti ini slogan yang pas jangan mengambil apapun kecuali gambar. Apapun itu, jangan pernah berhenti untuk mengeksplor keindahan Indonesia. Saya tertarik ke gunung-gunungnya.

0 komentar:

Post a Comment