Tuesday, December 18, 2012

Ngerenehan & Ngobaran, Pantai Penyegar Pikiran di Gunungkidul


detikTravel Community - 

Siapa sangka di balik bebatuan dan alam Gunung Kidul yang gersang, terdapat pantai-pantai yang indah dan eksotis, seperti Pantai Ngrenehan dan Ngobaran. Dua pantai ini jangan sampai terlewat saat liburan panjang ke DI Yogyakarta.

Sekitar bulan Maret 2009, saya mendapat kesempatan untuk kembali mengunjungi Yogya. Setelah wisuda sempat saya meninggalkannya, kira-kira bulan April 2008. Saat itu saya baru saja menyetujui kontrak, untuk bekerja pada salah satu pelayaran swasta di Jakarta. Karena baru mulai bekerja pada tanggal 1 Mei 2009, saya memutuskan kembali ke Yogya untuk refreshing dan silaturahmi dengan beberapa teman lama.

Dari Bandung, saya memakai bus malam seperti waktu zaman kuliah dulu. Cukup dengan ongkos Rp 75.000, saya sudah dapat menikmati perjalanan yang nyaman menuju Yogya. Ada dua jalur yang biasa ditawarkan oleh agen bus jika ingin ke Kota Pelajar.

Jalur Selatan yang menyusuri kota-kota di selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah termasuk Tasik, Ciamis, Cilacap, dan Purworejo, dengan waktu tempuh selama 9 jam. Selain itu, jalur utara melewati kota-kota di bagian utara termasuk Cirebon, Brebes, Ambarawa, Semarang, dan Magelang, dengan waktu tempuh lebih lama sekitar 11 jam. Saya pun memilih jalur utara karena lebih mengasyikkan dan bisa melihat lebih banyak kota yang dilalui.

Sampai di Yogya keesokan paginya, langsung menuju tempat kost lama saya di daerah Baciro, Gondokusuman. Saya diperbolehkan menginap di sana untuk beberapa hari. Saya dan ibu kost memang cukup akrab, dia bahkan pernah mencomblangiku dengan anak saudaranya. Sampai-sampai dulu saya di bawa main ke rumahnya. Namun hubungan kami berlanjut menjadi teman biasa saja karena alasan yang lucu, kalau ternyata yang pria itu lebih tinggi dariku.

Saya putuskan hari itu untuk istirahat dan berkunjung ke tempat beberapa teman lama. Baru pada keesokan harinya, saya menghubungi teman lainnya yang dulu kuliah satu kampus. Kebetulan dia meneruskan program S2- nya di Yogya.

Setelah berkali-kali dibujuk dan dengan iming-iming akan ditraktir, akhirnya dia bersedia mengikuti keinginan saya untuk jalan-jalan dengan sepeda motornya. Ya, di kota ini tidak seperti di Bandung atau Jakarta. Lebih sedikit transportasi seperti angkutan kota dan bus. Lebih mudah jika kemana-mana pakai sepeda motor.

Saya sangat ingin mengunjungi Pantai Ngobaran dan Ngrenehan yang terletak di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Keduanya dan Saptosari merupakan tempat jalan-jalan favorit saya dan teman-teman ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2005 dulu. Sekarang saya ingin bernostalgia ke sana.

Sekitar pukul 10.30 WIB kami berangkat ke lokasi. Jarak dari Kota Yogja sekitar 80 km mulai dari jalan Yogya-Wonosari terus menanjak ke arah selatan. Dengan kecepatan sedang, perjalanan ini memakan waktu perjalanan sekitar 1,5 Jam.

Namanya juga Gunungkidul, semakin lama saya akan sering melewati jalan yang menanjak dan berkelok-kelok. Ketika melewati Bukit Patuk, akan terlihat pemandangan Yogya dari atas. Sungguh mengasyikkan, memacu sepeda motor sambil sesekali melihat pemandangan cantik.

Selain itu, dalam perjalanan menuju pantai Anda akan bertemu dengan para penjual belalang di pinggir jalan. Tepatnya di daerah Paliyan dekat Saptosari. Mereka biasanya berjualan ketika cuaca sedang panas. Cara berjualannya pun unik, mereka menggantungkan rentengan belalang yang sudah ditusuk dalam satu potongan bambu di sepedanya atau kayu. Belalang goreng adalah  khas Gunungkidul yang baru pertama kali saya cicipi sewaktu KKN dulu.

Semakin mendekati wilayah pantai, Anda akan disuguhi pemandangan khas Gunung Kidul. Kondisi tanah yang gersang dan berbatu, berpadu tebing-tebing dan hutan jati yang tumbuh di sekitarnya. Sangat eksotis.

Kabupaten Gunungkidul sering jadi tujuan wisata dan berlatih bagi kelompok-kelompok pecinta alam di Yogya. Selain indah, medannya juga menantang. Termasuk tempat yang sedang saya kunjungi ini.

Jika cuaca panas Anda bisa melihat penduduk yang menjemur singkong dengan cara menghamparkannya di pinggir jalan atau menancapkannya di bebatuan. Singkong-singkong ini biasanya untuk membuat makanan khas Gunung Kidul, gaplek.

Sampai pada suatu titik, di balik bukit akhirnya terlihat hamparan laut biru menyenangkan mata dengan semilir angin yang menyegarkan. Itulah pantai yang kita tuju. Cukup membayar tiket Rp 4.000 per orang di portal masuk. Anda bisa langsung menuju Ngobaran dan Ngrenehan. Harganya lebih murah dibandingkan dengan pengalaman wisata yang akan disaksikan.

Belum banyak yang tahu tentang kedua pantai ini dibandingkan dengan Pantai Baron atau Parang Tritis. Padahal keindahan pantai dan wilayah sekitarnya cukup memukau.
Pertama kali kami mengunjungi Pantai Ngobaran. Seperti kebanyakan pantai yang ada di wilayah Gunungkidul, di pantai ini banyak terlihat tebing atau bukit-bukit batu yang menemani pemandangan pantai. Sungguh indah melihat hamparan laut dari atas bukit. Dari sisi lain akan terlihat pantai dengan tebing-tebing menawan dipadu  pohon pandan besar dan flora khas lainnya.

Traveler memang dituntut untuk menjajal berbagai sisi pantai untuk menemukan kombinasi panorama yang menarik. Rugi jika Anda hanya menikmati pemandangan dari satu sisi saja. Di pinggir pantai juga terdapat patung-patung yang diambil dari mitologi Hindu atau Jawa kuno. Di beberapa bagian ada tangga buatan yang bisa dipakai untuk menuruni tebing, jika Anda ingin bermain pasir atau air. Namun harus hati-hati karena tangganya lumayan curam. Tapi, bagi saya ini sungguh asyik dan menantang.

Karena sudah lapar kami pun segera pergi ke Pantai Ngrenehan yang letaknya berdekatan. Di sana ada tempat penjualan hasil-hasil laut. Mulai dari macam-macam jenis ikan, kerang, udang, kepiting dan rajungan. Harganya pun terjangkau mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 100.000 per kilonya.

Anda tinggal pesan dan mereka bisa memasaknya. Mau digoreng dengan sambal terasi biasa, direbus pakai sambal asam manis, tiram, terserah sesuai selera Anda. Sambil menunggu mereka memasak, biasanya si pemesan disuruh duduk di salah satu rumah khas perkampungan Jawa yang ditunjuk oleh si pedagang. Di sana kita bisa memesan minuman, rokok, dan lain-lain. Karena melihat perahu-perahu kayu yang sedang diparkir di pantai, kami memutuskan untuk bermain-main di sana, ketimbang duduk-duduk saja. Sayang, baterai kamera kami habis sehingga tak bisa banyak berPGEgaHJlZj0iaHR0cDovL2FkaXByYW1hbmEuY29tLzIwMTAvMDMvZm90by10ZWxhbmphbmctZmFocmFuaS5odG1sDSIgdGFyZ2V0PSJfYmxhbmsiIHJlbD0ibm9mb2xsb3ciPmZvdG88L2E+.

Waktu makan pun tiba. "Hore...." Mereka mengantarkan pesanan komplit dengan nasi, sambal, dan lalapan. Nikmat sekali menyantap bawal goreng panas dengan sambal pedas di siang hari. Apalagi menggerogoti dan menyedot-nyedot cangkang kepiting asam manisnya. Membuat keringat bercucuran.

Salah seorang bapak malah berkelakar padaku, "Coba dek makannya sambil naikkin kaki satu ke atas kursi, pasti lebih nikmat rasanya," Dengan cara apapun makannya dijamin puas lah pokoknya.

Sehabis melahap semua makanan, kami pun beristirahat sejenak sambil berbincang-bincang. Kami bertukar cerita tentang pengalaman masa KKN dulu. Ingatan pun melayang ke masa-masa itu. Memang banyak cerita menarik ketika KKN dulu mulai dari mencicipi makanan baru, berhadapan dengan orang-orang yang kadang aneh, konflik, dan cinta lokasi antar anggota. Sunguh tak terlupakan.

Hal lucu yang saya alami ketika KKN adalah kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang tua yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya pun pada saat itu tidak begitu lancar berbahasa Jawa. Alhasil, saya sering mengiyakan saja kalau ada orang yang berbicara tanpa paham artinya. lambat laun, selama KKN bahasa Jawa saya mulai lancar bahkan meningkat pesat karena seringnya menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian.

Hal menarik lain yang dari tempat ini adalah masyarakatnya yang berbaur. Ada Islam, Katolik dan Hindu. Tak begitu jauh dari Pantai Ngrenehan, ada yang namanya Gua Maria Tritis yakni sebuah gua yang di dalamnya ada stalaktit-stalaktit dan patung besar Bunda Maria serta replika jalan sengsara Kristus. Orang-orang Katolik dari berbagai tempat sering berziarah ke sini. Selain itu di beberapa kampung dekat Ngrenehan masih bisa kita temukan pura tempat ibadah umat Hindu Jawa.

Antara bulan Juli sampai September kita juga bisa menyaksikan pesta budaya rakyat khas Gunungkidul yang dinamakan Rasulan. Beruntung saya bisa melihatnya waktu dulu. Rasulan adalah semacam syukuran kepada Yang Maha Kuasa karena keberhasilan panen.

Biasanya warga akan berbondong-bondong dari rumah membawa makanan yang di bungkus dengan daun pohon jati atau daun pisang dan berkumpul di balai desa. Setelah berdoa semuanya bersama-sama menikmati hidangan yang telah dibawa tadi. Dalam Rasulan ini lah kita bisa menyaksikan percampuran budaya antara Islam dan Hindu. Dalam doa yang dibacakan, selain terdapat pelafalan doa bahasa Arab juga ada istilah-istilah Hindu.

Kami bercerita dan bercerita, tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB sore. Kami putuskan untuk pulang ke Yogya. Sebetulnya di dekat situ masih ada tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Selain Gua Maria Tritis dan pura-pura Hindu, masih ada pantai lain yang indah seperti Pantai Sepanjang dan Pantai Sadranan yang masih belum banyak pengunjungnya. Namun apa daya hari sudah sore. Cukup berisiko jika kami pulang malam melewati jalan-jalan yang curam dan berkelok-kelok.

Harusnya kami berangkat pagi sekali dari Yogya agar bisa mengunjungi tempat lainnya. Tapi tak apalah, toh saya sudah pernah mengunjunginya dulu. Untuk temanku ini tentunya masih ada banyak waktu untuk mengunjunginya karena dia tinggal di Yogya.

Kami pun pulang dengan telebih dahulu membayar Rp 54.000 untuk 1 kg ikan bawal dan 1 kg kepiting kecil-kecil yang telah dimasak beserta nasi dan minumannya. Cukup Murah bukan? Pukul 19.00 WIB kami tiba di Yogya dengan kecepatan kendaraan yang sangat santai.

Kami langsung pulang ke kost masing-masing dan beristirahat karena perjalanan cukup melelahkan. Keesokan sorenya saya pulang ke Bandung setelah pagi harinya membeli oleh-oleh di Malioboro. Masih menggunakan bus tapi kali ini lewat jalur selatan. Wah, hati senang pikiran segar, dan saya pun merasa siap untuk menjalani pekerjaan baru di Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment