Monday, January 14, 2013

Kisah di Balik Tengkorak-tengkorak Desa Trunyan


Bangli - Tak jarang wisatawan bergidik ngeri saat melihat deretan tengkorak di Kuburan Trunyan, Bali. Tak sedikitpun tercium bau bangkai meski tak ada jenazah yang dikremasi. Legenda dan tradisi bermain di sini.

Angin yang membawa aroma daun menyambut saya saat kapal berlabuh di dermaga, November 2012 lalu. Sayup-sayup, terdengar merdunya bunyi gamelan yang dimainkan warga setempat. Sedikit jalan kaki dari dermaga, saya dihadapkan pada tulisan: Selamat Datang di Kuburan Terunyan.

Kuburan Trunyan berada di sisi timur Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali. Hampir tak ada wisatawan yang tak berdiri bulu kuduknya saat melangkahkan kaki ke kompleks kuburan Trunyan. Bayangkan saja, jenazah-jenazah di kuburan ini dibiarkan membusuk di atas tanah. Berbeda dengan mayoritas warga Bali yang melakukan upacara 'ngaben' saat kematian seseorang.

Waktu itu saya ditemani I Wayan Asli, seorang warga Desa Trunyan. Ia tahu betul seluk-beluk kuburan ini, dari legenda sampai tradisinya. Sambil berkeliling melihat tengkorak yang 'tercecer' di sana-sini, pria bertubuh kekar itu bercerita.

"Legendanya, ada 4 bersaudara dari Keraton Surakarta yang terhipnotis wangi Taru Menyan," katanya sambil menunjuk pohon raksasa dengan akar yang menjulur ke segala arah. Taru Menyan adalah asal nama kata 'Trunyan', berarti 'pohon wangi'.

Empat bersaudara itu terdiri dari 3 laki-laki dan si bungsu perempuan. Mereka melintasi Tanah Jawa, kemudian Selat Sunda untuk mencari asal muasal wangi semerbak itu. Singkat cerita, setibanya di Trunyan, sang kakak sulung jatuh cinta kepada sang Dewi penunggu pohon tersebut.

"Sudah direstui semua saudaranya, mereka nikah. Trunyan jadi sebuah kerajaan kecil. Pohon besarnya masih mengeluarkan wangi. Sampai akhirnya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu agar terlindung dari serangan luar. Biar nggak ada lagi yang terhipnotis wanginya," lanjut I Wayan.

Kami berjalan menuju 'ancak saji', anyaman bambu berbentuk segitiga sama kaki. Di sinilah jenazah diletakkan begitu saja, tanpa sedikit pun tercium bau bangkai. Di sekitarnya terdapat benda-benda peninggalan si jenazah: piring, foto berpigura, sapu tangan, baju dan perhiasan. Sedikit mengintip ke dalam 'ancak saji', saya melihat potongan tulang dan tengkorak. Ada pula yang tinggal rambutnya saja.

"Inilah yang diperintahkan sang Raja waktu itu. Untuk menghilangkan bau semerbak, jenazah orang Trunyan dibiarkan saja membusuk di tanah sini. Nggak tercium bau apa-apa kan? Bau harum dan busuk konon sudah menyatu di sini," bisik I Wayan.

Legenda tersebut berbuah tradisi. Sampai sekarang, jenazah masyarakat Desa Trunyan masih dibiarkan saja di atas tanah. Tapi tak sembarang mayat bisa dikuburkan dengan cara ini. Kata I Wayan, mayatnya harus utuh dan meninggal secara normal. Tak ada luka seperti mayat kecelakaan.

"Layak atau tidaknya juga ditentukan baik atau buruknya orang itu semasa hidup. Waktu mengantar jenazah, nggak boleh ada wanita yang ikut dalam rombongan. Kalau peraturan ini dilanggar, bisa-bisa desa tempat tinggal wanita itu ditimpa bencana," tuturnya.

Jumlah kuburan yang tertutup 'ancak saji' hanya 11. Kalau ada mayat yang dikubur di sini, mayat yang paling pinggir digeser tulang-tulangnya. Hasilnya, deretan tengkorak dan tulang pun berceceran di kuburan tersebut.

Saya merinding, namun sumringah. Sepanjang perjalanan pulang dari Kuburan Trunyan, saya berpikir keras. Tradisi ini mungkin sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Selama itu, tak pula tercium bau bangkai dari Kuburan Trunyan. Kapal pun meninggalkan dermaga, pohon raksasa Trunyan seperti melambaikan tangan.


0 komentar:

Post a Comment